BAB I
PENDAHULUAN
Eksistensi lembaga keuangan
khususnya sector perbankan menempati posisi sangat strategis dalam menjembatani
kebutuhan modal kerja dan investasi di sector riil dengan pemilik dana. Dengan
demikian, fungsi utama sector perbankan dalam infrastruktur kebijakan makro ekonomi
memang diarahkan dalam konteks bagaimana (how
to make money effective and efficient to increase economic value).
Tersedianya sumber dana untuk dunia dan didukung oleh kemudahan investasi
mendorong ekspansi usaha khususnya oleh kelompok-kelompok berskala besar.
Dampaknya, permintaan kredit terus meningkat khususnya untuk sector
perindustrian, perdagangan, dan jasa-jasa. Selain itu, perkembangan usaha
tersebut dipercepat oleh relokasi industry-industri (export of company) dari Negara-negara maju yang sudah tidak
ekonomis lagi untuk beroperasi.
Namun, fase awal perkembangan
industry di dalam negeri ini sangat rakus sumber dana untuk mengimpor
barang-barang modal dan bahan-bahan produksi. Dampaknya, utang luar negeri
swasta meningkat pesat, dimana perbankan dan industry sekuritas sangat besar
peranannya dalam memfasilitasi kebutuhan tersebut[1][1][1].
BAB II
PEMBAHASAN
PERBANKAN
SYARIAH DAN MASALAH EKONOMI
A.
MASALAH EKONOMI
Pembangunan
ekonomi merupakan kegiatan mengatur urusan rumah tangga nasional untuk memenuhi
seluruh kebutuhan hidup penduduk. Dengan demikian, pembangunan adalah sebuah
proses menciptakan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa
sebagaimana secara arif dirumuskan oleh para founding fathers republic ini dalam mukaddimah UUD 1945. Kalimat
tersebut menegaskan bahwa pembangunan bukanlah proses peniduran atau pembodohan
tetapi sebuah kerja dari seluruh komponen bangsa untuk memenuhi seluruh hajat
hidup rakyat dan meningkatkan taraf peradaban.
Jumlah
penduduk Indonesia yang besar, lebih dari 200 juta merupakan sebuah asset
sekaligus tantangan besar. Diperlukan perencanaan yang komprehensif dan
integral atas system produksi dan distribusi terhadap pemenuhan kebutuhan
primer seperti persoalan sandang, pangan, dan papan. Hingga saat ini Indonesia
belum mampu mengatasi persoalan mendasar tersebut. Realitas menunjukan bahwa
lebih dari 50% produksi beras domestic dihasilkan di pulau Jawa, pada tahun
1980-an. Sementara ketersediaan lahan di pulau Jawa mengalami penciutan
terus-menerus karena himpitan industrialisasi dan pembangunan pemukiman. Disisi
lain, tanah di luar Jawa kurang cocok untuk persawahan sehingga memerlukan
biaya produksi yang lebih tinggi lagi[2][2][2].
Dari
gambaran diatas, terlihat bahwa kegiatan ekonomi belum mampu mengatasi akar
persoalan utama ekonomi yakni bagaimana memenuhi kesejahteraan seluruh penduduk
dengan tetap mempertahankan kelestarian sumber daya alam, tanpa mengandalkan
utang luar negari. Mengapa? Karena terjadi ketimpangan ekonomi antara daerah
satu dengan yang lainnya. Kegiatan produksi dan distribusi pada sekelompok
kecil masyarakat melalui penguasaan sumber daya alam, permodalan, dan
teknologi, menyebabkan terjadinya dominasi fungsi/tujuan ekonomi mereka
(keuntungan) dalam pertumbuhan ekonomi[3][3][3].
Merekalah
yang menentukan jenis barang apa yang
harus diproduksi dan tentunya paling menguntungkan. Hal itu tidak perlu sesuai
dengan kebutuhan atau kemampuan masyarakat luas. Factor tenaga kerja dari
masyarakat luas hanyalah bagian dari
factor produksi semata-mata. Tidak peduli bahwa pekerjaan tersebut mampu
menikmati hasil pekerjaanya. Dengan demikian, kegiatan ekonomi dapat menjadi
terlepas dari upaya mengatasi akar permasalahan ekonomi, tetapi justru menjadi
sebuah proses “pemiskinan structural”.[4][4][4]
B.
MASALAH PERBANKAN
Perkembangan sector perbankan yang
terlalu cepat tidak disertai infrastruktur yang mendukungnya seperti kebijakan
yang sempurna, arah kegiatan usaha, dan perbankan. Bank bagi pemilik lebih
berfungsi sebagai fasilitator memobilisasi dana masyarakat untuk kepentingan
usahanya. Pembajakan karyawan perbankan menjadi cara cepat untuk memenuhi
kebutuhan tenaga professional. Promosi yang terlalu cepat menjadi proses
pematangan karyawan yang tidak sebanding dengan pengalaman, kemampuan,
keterampilan. Sebagai imbalannya, para pemilik bank menuntut prestasi kerja
yang tinggi untuk memberikan keuntungan atas biaya besar yang telah
dikeluarkannya.
Hal ini menimbulkan tekanan kerja
yang tinggi bagi karyawan perbankan sehingga sikap agresif dan terburu-buru
yang cenderung mengabaikan aspek ketelitian dan kehati-hatian. Banyak bank
tidak memiliki strategi usaha yang focus. Penyaluran kredit dilakukan
serampangan tanpa melalui strategi segmentasi/distribusi dan diversifikasi yang jelas. Sementara itu,
struktur dan kemampuan sumber dana pendukung ekspansi sangatlah lemah sehingga
menimbulkan gap yang cukup besar.
Lebih mengerikan lagi, ternyata banyak bank yang beroperasi dengan system dan
prosedur operasi seadanya tanpa disertai mekanisme pengawasan yang memadai.
Kurangnya perhatian terhadap aspek manajemen perbankan ini menyebabkan
pengelolaan risiko menjadi terabaikan.
Meletusnya krisis moneter pada akhir
Juli 1997 menyebabkan guncangan hebat terhadap seluruh sendi perekonomian.
Jatuhnya nilai rupiah langsung merevaluasi seluruh posisi valuta asing
perbankan baik asset maupun kewajibannya. Ketika terjadi penarikan tiba-tiba
akibat capital flight atau pencairan
simpanan valuta asing, perbankan tidak memiliki cadangan likuiditas yang cukup
untuk memnuhinya. Keadaan ini memaksa Bank Indonesia turun tangan dengan dana
talangan BLBI yang sangat besar ke sector perbankan. Namun, injeksi likuiditas
ini justru merepotkan otoritas moneter sendiri karena harus segera menempuh
kebijakan tingkat bunga tinggi untuk mencegah berkobarnya inflasi.[5][5][5]
Selain dihadapkan pada hutang
Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) yang sangat besar akibat penarikan
dana valuta asing, perbankan juga dihadapkan pada potensi kredit macet valuta
asing yang membengkak. Tingkat produksi dan volume penjualan dari
perusahaan-perusahaan menurun drastic karena bantuan baku produksi melonjak
harganya dan menurunnya daya beli masyarakat. Kelumpuhan sector usaha ini
meninggalkan utang valuta asing yang sangat besar kepada perbankan. Lebih
menyedihkan lagi bahwa ternyata sebagian besar kredit macet tersebut terjadi
pada kelompok usahanya sendiri.
Berlarut-larutnya krisis ekonomi,
bahkan telah menjelma menjadi krisis politik, semakin memperbesar
ketidakpastian pemulihan ekonomi. Kebijakan tingkat bunga tinggi yang ditujukan
untuk mengendalikan laju uang beredar dan stabilitas nilai tukar semakin
berdampak luas dan turut melindas perusahaan yang tidak memiliki utang dolar
sehingga menambah jumlah kredit macet. Tingkat bunga tinggi menimbulkan negative spread yang mengeruk permodalan
sehingga mempercepat runtuhnya perbankan.
Dengan ambruknya pilar pembangunan
orde baru yang berbasiskan utang, maka pemerintah dengan terpaksa harus tunduk
kepada aturan IMF (The International
Monetary Fund) untuk memperoleh paket bantuan yang sebagian diprioritaskan
untuk memenuhi kebutuhan bahan pangan impor. Prioritas utama paket penyelamatan
IMF adalah penyehatan perbankan melalui kebijakan restrukturisasi dan
rekapitalisasi meskipun berjalan lambat dan penuh controversial. Langkah
pertama dilakukan melalui kebijakan likuiditasi perbankan pada oktober 1997
yang menimbulkan kepanikan Masyarakat.
Bank-bank yang harus meminimumkan
BLBI dan tidak mampu membayar, pada tahun 1998 diambil alih atau dibekukan.
Proses seleksi berikutnya ditentukan melalui syarat kecukupan permodalan. Pada
bulan Maret 1999 sebanyak 38 bank dibekukan operasinya, 9 bank diambil alih,
dan 73 lainnya bebas/lolos melakukan operasi. Buruknya kinerja perbankan
menyebabkan harga sahamnya sangat rendah. Untuk meningkatkan permodalan melalui
program rekapitulasi, diperlukan penerbitan jumlah saham yang sangat besar sehingga
proses kepemilikan pemegang saham lama menjadi tenggelam atau sangat sangat
minoritas.
Program ini menjadi sangat tidak
menarik partisipasi pemegang saham lama untuk menyuntikan modal sedikitnya 20%,
karena jauh lebih kecil dibandingkan kepemilikan pemerintah sebesar 80%. Apalagi partisipasi pemerintah hanya bersifat
sementara selama 3 tahun sampai dengan tahun 2001. Artinya, saham pemerintah
akan dijual kepada investor lain, dan mereka harus membeli saham tersebut jika
mereka ingin tetap menjadi mayoritas. Dengan demikian, para pemegang saham
akhirnya merelakan banknya dikuasai oleh investor asing yang bersedia membeli
saham yang sudah sangat murah.
Dipihak lain, kesulitan yang dialami
oleh perbankan nasional rupanya menjadi momen yang sangat strategis bagi
bank-bank asing untuk melebarkan sayapnya. Banyak dari bank-bank asing ini
membuka kantor-kantor cabang baru di kota-kota propinsi dan siap membeli
jaringan kantor sekaligus mengambil alih nasabah lancer dari bank-bank beku
operasi. Salh satu yang sangat mengejutkan adalah partisipasi Standard Chartered atas program
rekapitulasi Bank Bali. Berlangsungnya penjualan bank-bank nasional
kepada investor asing yang nantinya boleh menguasai hingga 99%, maka praktis sector
perbankan akan didominasi oleh pelaku asing.[6][6][6]
C.
TANTANGAN SEKTOR PERBANKAN
Tidak
diragukan lagi bahwa peranan sector perbankan sangat diperlukan untuk
membangkitkan kembali kegiatan perekonomian. Peranan tersebut akan sangat
ditentukan oleh strategi pembangunan yang ditetapkan oleh kekuatan politik baru
yang berkuasa, disamping kepentingan komersial dari kekuatan pelaku asing yang
tidak dapat diabaikan. Jelasnya sebagiain masyarakat sangat berharap
dilakukannya reposisi sector perbankan sebagai agent of development setelah
sekian lama lebih banyak berfungsi sebagai waduk yang mengairi kegiatan
usaha-usaha grupnya sendiri.
Adapun
beberapa masalah mendasar perekonomian yang harus menjadi focus peran sector
perbankan adalah seperti:
1. Pemenuhan
kebutuhan primer (sandang, pangan, dan papan)
2. Penciptaan
lapangan pekerjaan dan peningkatan pendapatan
3. Pengembangan
industry unggulan yang menghasilkan produk substitusi impor
Untuk dapat berperan mengentaskan
masalah utama perekonomian tersebut maka diperlukan system perbankan yang sehat
dan tangguh. Beberapa tantangan internal sector perbankan adalah:
1. Meningkatkan
kualitas aktiva melalui restrukturisasi kredit
2. Memperkuat
basis permodalan
3. Memiliki
strategi usaha yang focus dengan suatu core
competence tertentu sebagai daya
saing
4. Memperkuat
basis system operasial untuk memperluas system distribusi penyaluran kredit
Dengan kondisi perbankan nasional
yang sangat buruk dan besarnya kemungkinan dominasi kepemilikan asing atas
industry perbankan, menimbulkan pertanyaan apakah sector perbankan dapat
menjadi alat efektif bagi kebijakan moneter dalam mengelola target pembangunan
ekonomi?
D.
ALASAN ADANYA BANK SYARI’AH
Secara
filosofis bank syari’ah adalah bank yang aktivitasnya meninggalkan masalah
riba. Dengan demikian, penghindaran bunga yang dianggap riba merupakan salah
satu tantangan yang dihadapi dunia Islam dewasa ini. Suatu hal yang sangat
menggembirakan bahwa belakangan ini para ekonom Muslim telah mencurahkan
perhatian besar, guna menemukan cara untuk menggantikan system bunga dalam
transaksi perbankan dan keuangan yang lebih sesuai dengan etika Islam. Upaya
ini dilakukan dalam upaya untuk membangun model teori ekonomi yang bebas bunga
dan pengujianya terhadap pertumbuhan ekonomi, alokasi dan distribusi
pendapatan.
Oleh
karena itu, maka mekanisme perbankan bebas bunga yang biasa disebut dengan bank
syari’ah didirikan. Perbankan syari’ah didirikan didasarkan pada alas an
filosofis maupun praktik. Secara filosofis, karena dilarangnya pengambilan riba
dalam transaksi keuangan maupun non keuangan[9][9][9]. Secara
praktis, karena system perbankan berbasis bunga atau konvensional mengandung
beberapa kelemahan, sebagai berikut:
1.
Transaksi
berbasis bunga melanggar keadailan atau kewajiban bisnis
Dalam bisnis, hasil dari setiap
perusahaan selalu tidak pasti. Peminjam sudah berkewajiban untuk membayar
tingkat bunga yang disetujui walaupun perusahaanya mungkin rugi. Meskipun
perusahaan untung, bisa jadi bunga yang harus dibayar melebihi keuntungannya.
Hal ini jelas bertentangan dengan norma keadilan dalam Islam.
2.
Tidak
fleksibelnya system transaksi berbasis bunga menyebabkan kebangkrutan
Hal ini menyebabkan hilangnya
potensi produktif masyarakat secara keseluruhan, selain dengan pengangguran
sebagian besar orang. Lebih dari itu, beban
utang makin menyulitkan upaya pemulihan ekonomi dan memperparah penderitaan
seluruh masyarakat.
3.
Komitmen
bank untuk menjaga keamanan uang diposan berikut bunganya membuat bank cemas
untuk mengembalikan pokok dan bunganya
Oleh sebab itu, demi keamanan,
mereka hanya mahu menjaminkan dana bagi bisnis yang sudah benar-benar mapan
atau kepada orang yang sanggup menjamin keamanan pinjamannya. Sisa uangnya
disimpan dalam bentuk surat berharga pemerintah. Jadi, semakin banyak pinjaman
yang hanya diberikan kepada usaha yang sudah mapan dan sukses, sementara orang
yang punya potensi tertahan untuk memulai usahanya. Ini menyebabkan tidak
seimbangnya pendapatan dan kesejahteraan juga bertentangan dengan semangat
Islam.
4.
System
transaksi berbasis bunga menghalangi munculnya inovasi oleh usaha kecil
Usaha besar dapat mengambil risiko
untuk mencoba teknik dan produk baru karena mereka punya cadangan dana sebagai
sandaran bila ternyata ide barunya itu tidak berhasil. Sebaliknya, jika usaha
kecil tidak dapat mencoba ide baru karena untuk mereka harus pinjaman dana
berbunga dari bank. Bila gagal, tidak ada jalan lain bagi mereka kecuali harus
membayar kembali pinjaman berikut bunganya dan bangkrut. Hal ini terjadi
terutama pada para petani. Jadi, bunga
merupakan rintangan bagi pertumbuhan dan juga memperburuk keseimbangan
pendapatan.
5.
Dalam
system bunga, bank tidak akan tertarik dalam kemitraan usaha kecil bila ada
jaminan kepastian pengembalian modal dan pendapatan bunga mereka.
Setiap rencana bisnis yang diajukan
kepada mereka selalu diukur dengna criteria ini. Jadi, bank yang bekerja dengan
system ini tidak mempunyai insentif untuk membantu suatu usaha yang berguna
bagi masyarakat dan para pekerja. System ini menyebabkan misallocation sumber daya dalam masyarakat Islam[10][10][10].
Berangkat dari beberapa kelemahan
system perbankan konvensional tersebut, maka perbankan syari’ah diharapkan
mendapatkan kebebasan dalam mengembangkan produknya sendiri, sesuai dengan
teori perbankan syariah. Jika kebebasan ini dapat diwujudkan maka secara ideal
akan memberikan manfaat bagi:
1. Terpeliharanya
aspek keadilan bagi para pihak yang bertransaksi
2. Lebih
menguntungkan disbanding perbankan konvensional
3. Dapat memelihara
kestabilan nilai tukar mata uang karena selalu terkait dengan transaksi riil,
bukan sebaliknya
4. Transparansi
menjadi sifat yang melekat (Inheren)
E.
PERANAN PERBANKAN SYARI’AH
Kegiatan
operasional perbankan syariah di Indonesia dimulai pada tahun 1992 melalui pendirian PT. Bank Muamalat Indonesia Tbk.
(PT. BMI) atau 4 tahun setelah deregulasi Pakto 88. Perkembangan perbankan
syariah berjalan lebih lambat dibandingkan dengan bank konvensional.
Operasional perbankan syariah di Indonesia didasarkan pada Undang-undang No. 7
tahun 1992 tentang Perbankan yang kemudian diperbaharui dengan Undang-undang
No. 10 tahun 1998. Pertimbangan perubahan Undang-undang tersebut dilakukan
untuk mengantisipasi tantangan system keuangan yang semakin maju dan kompleks
dan mempersiapkan infrastruktur memasuki era globalisasi. Jadi, adopsi
perbankan syariah dalam system perbankan nasional bukanlah semata-mata
mengakomodasi kepentingan penduduk Indonesia yang kebetulan sebagian besar
muslim. Namun lebih kepada adanya factor keunggulan atau manfaat lebih dari
perbankan syariah dalam menjembatani ekonomi.[12][12][12]
Dalam
system perbankan konvensional, selain berperan sebagai jembatan antara pemilik
dana dan dunia usaha, perbankan juga mesih menjadi penyekat antara keduanya
karena tidak adanya transferability risk dan
return. Dalam konteks makro, modus ini menghindarkan
modus gap antara sumber dana dengan
investasi (saving investment gap)
sehingga menciptakan landasan pertumbuhan yang kuat. Skema produk perbankan syariah secara alamiah
merujuk kepada dua kategori kegiatan ekonomi, yaitu produksi dan distribusi.
Kategori pertama difasilitasi melalui skema profit sharing (mudharabah), dan partmnership (musyarakah), sedangkan
kegiatan distribusi manfaat hasil-hasil produk dilakukan melalui skema jual beli (murabahah) dan sewa menyewa (ijaroh).
Berdasarkan sifat tersebut maka kegiatan lembaga keuangan syariah (bank
syariah) dapat dikategorikan sebagai investment
banking dan merchant/commercial
banking.[13][13][13]
BAB III
KESIMPULAN
Dari pembahasan makalah diatas, maka
dapat kami simpulkan bahwa perbankan syariah yaitu suatu perbankan yang
beroperasi dengan menggunakan peraturan Qur’an dan Hadis yaitu menghindari riba
dalam operasinya. Sedangkan masalah
ekonomi diperlukan perencanaan yang komprehensif dan integral atas system
produksi dan distribusi terhadap pemenuhan kebutuhan primer seperti persoalan
sandang, pangan, dan papan.
Hingga saat ini Indonesia belum
mampu mengatasi persoalan mendasar tersebut. Realitas menunjukan bahwa lebih
dari 50% produksi beras domestic dihasilkan di pulau Jawa, pada tahun 1980-an.
Sementara ketersediaan lahan di pulau Jawa mengalami penciutan terus-menerus
karena himpitan industrialisasi dan pembangunan pemukiman. Disisi lain, tanah
di luar Jawa kurang cocok untuk persawahan sehingga memerlukan biaya produksi
yang lebih tinggi lagi.
DAFTAR
PUSTAKA
Karnaen Perwataatmadja dan M. Syafe’I Antonio, 1997. Apa dan Bagaimana Bank Islam, Yogyakarta:
Dana Bakhti Wakaf.
Karnaen Purwataatmadja, 1997. “Istiqomah dalam menjalankan
Operasional Bank Syari’ah”, Kertas Kerja
Seminar Bank Syari’ah, pada tanggal 24 September 1997.
M. Syafe’I Antonio, 2000. Bank Islam: Teori dan Praktik, Jakarta: Gema Insani Press.
Muhammad, 2000, Lembaga
Keuangan Umat Kontemporer, Yogyakarta: UII Press.
,
2005, Manajemen Bank Syari’ah, Yogyakarta:
UPP AMP YKPN.
Zainul Arifin, 2002, Dasar-dasar
Manajemen Bank Syari’ah, Jakarta: Alfabeta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar