Sabtu, 22 Juni 2013

Prospek dan tantangan


PROSPEK, TANTANGAN EKONOMI ISLAM  

Kebijakan politik di Indonesia memberikan dukungan pertama kali dengan legislasi UU No. 7
Tahun 1992 tentang Perbankan, yang memungkinkan beroperasinya bank dengan sistem bagi
hasil (pasal 6, huruf m). UU ini kemudian dirubah dengan UU No. 10 Tahun 1998 tentang
Perubahan atas UU No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, yang secara eksplisit menyebutkan
istilah "bank berdasarkan prinsip syariah".
Terbitnya UU No. 10 Tahun 1998 tersebut, menjadi moment penting bagi dimulainya gerakan
ekonomi syariah di Indonesia. Setelah itu, gerakan ekonomi syariah terus digaungkan dan
diperjuangkan oleh para aktivis ekonomi syariah, baik para ulama, akademisi maupun praktisi
tidak kenal lelah. Gerakan ini pun menggelinding bagaikan gerakan bola salju yang semakin
membesar yang tidak dapat terbendung lagi. Terus dikawal oleh lembaga-lembaga yang lahir
dari gerakan ini, seperti Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI),
Masyarakat Ekonomi Syariah (MES), Ikatan Ahli Ekonomi Islam (IAEI), dan lainnya. Gerakan
dan perjuangan ekonomi syariah ini kemudian melahirkan lembaga-lembaga teknis di
lingkungan pemerintah, seperti Direktorat Perbankan Syariah di Bank Indonesia, Direktorat
Pembiayaan Syariah di Departemen Keuangan, dan berbagai biro di Badan Pengawas Pasar
Modal ( BAPEPAM ).
Gerakan ini juga melahirkan sejumlah undang-undang dan peraturan perundangan
lainnya,seperti Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah, Undang-
Undang Nomor 19 Tahun 2008 Tentang Surat Berharga Syariah Negara (SBSN), Berbagai
Peraturan Bank Indonesia, Peraturan Bapepam, dan peraturan-peraturan lainnya. Di samping
itu, gerakan ini juga melahirkan lembaga-lembaga keuangan syariah meliputi: perbankan
syariah, asuransi syariah, pegadaian syariah, pembiayaan syariah, pasar modal syariah, bursa
komoditi syariah, bisnis syariah, dan lainnya .
Lahirnya Undang Undang Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan Undang Undang Nomor 7
Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama yang memberikan kewenangan kepada Peradilan
Agama dalam menyelesaikan sengketa ekonomi syari’ah adalah merupakah langkah politik
hukum yang luarbiasa dalam melengkapi kelembagaan “hukum” untuk mewujudkan gerakan
2
ekonomi syariah di Indonesia, sehingga kini gerakan ekonomi syari􀀀ah riil mendapatkan
dukungan dari berbagai pihak.
Sumber-sumber Ekonomi Syari’ah telah ditetapkan oleh Allah SWT dalam berbagai
ayat al Qur’an yakni berupa sumber daya alam yang melimpah ruah, sumber daya manusia
yang diharapkan selalu profesional dan tidak boleh berpangku tanggan menanti karunia
Tuhan, ditunjukkan oleh Allah SWT tentang tata cara bisnis dan wirausaha yang benar dan
halal serta tidak merugikan orang lain, ditunjukkan pula tentang tata cara penglolaan Ekonomi
Syari’ah dengan cara manajemen yang baik serta pandai-pandailah memanfaatkan lahirnya
tehnologi dengan prinsip taqwa kepada Allah SWT. .( An Nisa ayat 29, Al Baqoroh ayat 29,
275,282,283, Al Ma idah ayat 1 );-
Landasan Ekonomi Syari’ah antara lain :
             
( النساء أیة ۲٩ )............... 
( البقرة أیة ۲۷۵ )..............................      ...............
( البقرة أیة ۲٨۲ )........          
              
( البقرة أیة ۲٨۳ )..............................     
( المایدة أیة ۱ )...........................   ____________  
( البقرة أیة ۲۹ ).........................        
والمسلمون على شروطھم الا شرطا حرم حلالا أو أحل حراما ( رواه الترمذي ) ........................
انما البیع عن تراض ( رواه البیھقي و ابن ماجة )
ما احل الله فھو حلال و ما حرم فھو حرام, وما سكت عنھ فھو عفو فا قبلوا من الله عا فیتھ فان الله لم یكن
ینسى شیئا. ( أخرجھ البزار و الطبراني )
( الأصل فى المعاملات الاباحة الا ان یدل دلیل على تحریمھا. ( الأشباه والنظائر. ص ٦۰
II. PROSPEK EKONOMI ISLAM :
Ketentuan-ketentuan yang dipegang dalam menjalankan prekonomian syari’ah di Indonesia,
didasarkan pada fatwa DSN , ini sudah banyak diadopsi menjadi Peraturan Bank Indonesia
(PBI). Dan Ekonomi Syari’ah di Indonesia, berkembang sangat cepat, terutama dibidang
3
perbankan Syari’ah. Kegiatan berupa bisnis Syari’ah sudah bermunculan dimana- mana,
seperti hotel syari’ah, kolam renang syari’ah, bengkel syari’ah, karaoke syari’ah, supermarket
syari’ah dan lain- lain.
Ekonomi Islam atau Ekonomi Syari’ah, dalam perkembanganya telah banyak memberikan
kontribusi kepada perkembangan ekonomi dunia. Banyak konsep-konsep Ekonomi Syari’ah
ditiru oleh Barat diantaranya tentang Syirkah (lost profit sharing), Suftaja (bills of exchange),
hiwalah (letters of Credit), funduq (specialized large scale commercial institutions and market
wich developed in to virtual stock exchange) yakni lembaga bisnis khusus yang memiliki skala
yang besar dan pasar yang dikembangkan dalam pertukaran stok yang nyata. Demikian juga
tentang harga pasar yang menurut sistem ekonomi kapitalis tidak boleh ditetapkan oleh
pemerintah atau dicampuri oleh pihak-pihak tertentu, sebenarnya ketentuan ini sudah
ditentukan oleh Rasulullah SAW beberapa abad yang lalu, dimana dalam sebuah hadis
diriwayatkan bahwa harga pasar tidak boleh ditetapkan oleh pemerintah atau ditentukan oleh
pihak-pihak tertentu, tetapi harus berlaku sesuai dengan sunnatullah yang istilah dalam
ekonomi konvensional adalah supply and demand.
Ekonomi Syari’ah nampaknya masih terus dalam proses membentuk diri secara mandiri
sebagai disiplin ilmu. Meskipun demikian ia telah berhasil melahirkan sistem operasi lembaga
ekonomi modern seperti bank dan asuransi. Dalam praktek, sistem operasional Bank dan
asuransi Islam dapat bersaing dengan lembaga yang serupa menurut sistem konvensional.
Hal ini dapat dilihat dari gagasan Ekonomi Syari’ah yang dikembangkan saat ini mempunyai
dampak langsung kepada masyarakat, terutama masyarakat muslim sehingga dapat
meningkatkan taraf hidupnya dalam menghilangkan persoalan keterbelakangan yang terjadi
pada masyarakat. Ekonomi Syari’ah diharapkan dapat menciptakan tata dunia baru yang adil
dan tidak bersifat hegemonistik. Juga dapat membuat sistem distribusi kekayaan dan
pendapatan yang adil dan merata pada setiap tingkatan.
Jenis – jenis Ekonomi Syari’ah di Indonesia :
Yang dimaksud dengan EKONOMI SYARI’AH adalah perbuatan atau kegiatan usaha yang
dilaksanakan menurut prinsip syaria’ah, antaralain meliputi :
1. Bank Syari’ah,
2. Lembaga Keungan Mikro Syari’ah,
3. Asuransi Syari’ah,
4. Reasuransi Syariah,
5. Reksadana Syari’ah,
4
6. Obligasi Syari’ah dan Surat Berharga Berjangka Menengah Syari’ah,
7. Sekuritas Syari’ah,
8. Pembiayaan Syari’ah,
9. Pegadaian Syari’ah,
10. Dana Pensiun Lembaga Keuangan Syariah,
11. Bisnis Syariah. ( Penjelasan pasal 49 UU RI No:3 Th.2006 jo. UU RI No:7 Th.1989 Ttg :
Peradilan Agama ).
III. TANTANGAN EKONOMI ISLAM :
Ekonomi Islam atau Ekonomi Syari’ah adalah ilmu dan sistem yang bersumber dari imperatif
wahyu Allah SWT untuk keselamatan dan kesejahteraan ummat manusia. Paradigma, asumsi
dan teori-teorinya sangat kondusif bagi kebutuhan kelangsungan hidup pada masa yang akan
datang. Oleh karena itu, secara potensial ia memiliki peluang yang besar untuk menjadi
alternatif sebagai solusi atas kegagalan sistem ekonomi kapitalis dan sosialis di masa yang
datang. Meskipun demikian dalam pelaksanaan Ekonomi Syari’ah banyak tantangan yang
dihadapi, antara lain : masih banyak SDM yang belum memahami tentang Ekonomi Syari’ah
dan masih adanya petugas pelaksana Ekonomi Syari’ah yang tidak amanah, maka sudah
semestinya dalam menghadapi tantangan tersebut semua lembaga yang bertanggung jawab
atas pemberlakuan ekonomi Syari’ah harus terus menerus melakukan kajian-kajian,
penelitian, publikasi dan sosialisasi kepada pihak-pihak yang dianggap perlu.
Konsep Ekonomi Syari’ah didasarkan kepada Tauhid, keadilan, keseimbangan,
kebebasan dan pertanggungjawaban. Dalam konsep tauhid berarti semua yang ada
merupakan ciptaan dan milik Allah dan hanya Allah SWT yang mengatur segalanya, termasuk
sebagai pelaku ekonomi yang berkedudukan sebagai pemegang amanah (trustee). Oleh
sebab itu manusia harus mengikuti segala ketentuan Allah dalam segala aktivitasnya,
termasuk dalam bidang ekonomi yang tidak hanya bersifat mekanistik dalam alam dan
kehidupan sosial, tetapi juga bersifat etis dan moralitas. Konsep keadilan dimaksudkan
bahwa seluruh kebijakan dan kegiatan ekonomi harus dilandasi paham keadilan dan
keseimbangan. Kebebasan mengandung pengertian bahwa manusia bebas melakukan
aktivitas ekonomi secara keseluruhan sepanjang tidak ada ketentuan Allah SWT yang
melarangnya. Sedangkan pertanggungjawaban mempunyai arti bahwa manusia sebagai
pemegang amanah memikul tanggungjawab atas segala putusan-putusan yang ditetapkannya.
5
Sistim Ekonomi Konvensional ( Kapitalis maupun Sosialis ) berbeda dengan sistim ekonomi
Islam / Syari’ah : Prinsip – prinsip ekonomi Islam tersebut adalah sebagai berikut :
1. Ekonomi Islam di bangun atas dasar aturan Ilahiyah (keTuhanan).Sedangkan Ekonomi
Konvensional dihadirkan atas konsep oleh manusia semata.
2. Ekonomi Islam hanya merupakan salah satu titik bagian saja dari Islam secara
keseluruhan.
3. Ekonomi Islam berdimensi aqidah.
4. Ekonomi Islam berkarakter Ta’abbudi.
5. Ekonomi Islam terkait erat dengan Akhlak.
6. Ekonomi Islam bersifat elastis dalam arti mampu berkembang secara evolusi.
7. Ekonomi Islam bersifat obyektif dalam pengertian mengajarkan ummatnya berlaku
obyektif sebagai pelaksanaan amanat dalam melakukan aktivitas ekonomi.
8. Ekonomi Islam mempunyai target, sasaran, tujuan yang lebih tinggi yaitu merealisasikan
kehidupan tidak hanya mengejar kepuasan materi, tetapi juga kehidpan kerohanian yang
lebih tinggi.
9. Ekonomi Islam bersifat stabil dan kokoh dengan mengharamkan praktek bisnis yang
membahayakan ummat manusia seperti riba, penipuan dan lain – lain.
10. Ekonomi Islam bersifat seimbang antara kebutuhan individu dan social, seimbang antara
duniawi dan akhirat, seimbang antara fisik dan psikis, seimbang antara sikap boros dan
hemat.
11. Ekonomi Islam besifat realistis.
12. Pandangan Islam pada hakekatnya harta kekayaan itu adalah milik Allah SWT.
13. Dalam mengelola harta kekayaan harus memiliki kecakapan.
14. Sebagi realisasi tugas kekhalifahaan.
15. Ekonomi Islam bersifat gotong royong.
1. Sumber Hukum Formil Hukum Islam ( Ekonomi Syariah )
1.1. Perjanjian ( ini yang utama )
1.2. Peraturan perundang – undangan.
1.3. Kebiasaan. Yurisprudensi.
1.4. Fatwa MUI ( DSN = Dewan Syariah Nasional )
1.5. Fiqh Islam.
( angka 1.2 s/d angka 1.6 = pelengkap )
2. Sumber Hukum Materiil Hukum Islam.
6
1) Sumber hukum primer ( ( المصادر الاصلیة
القرآن ( 1
السنة ( 2
Dan Perma RI No.2 Tahun 2008 tentang Kompilasi Hukum Ekonomi Syari’ah.
2) Sumber hukum sekunder ( ( المصادر التباعیة
الأجماع ( 1
القیاس ( 2
الاستحسان ( 3
المصالح المرسلة ( 4
سد الذرائع ( 5
العرف ( 6
IV. PENYELESAIAN SENGKETA BISNIS SYARI’AH :
Asas – asas Aqad Syariah
1. Asas Kebebasan dan kerelaan / ‘anta radhin.
2. Asas Persamaan / kesetaraan ( equality ).
3. Asas Keadilan ( fairness )
4. Asas Kejujuran, kebenaran,dan keterbukaan.
5. Asas Tertulis.
6. Asas Manfaat dan bernilai guna.
7. Asas Tidak saling merugikan / la dharara wala dhirara / saling menguntungkan.
Dalam Aqad Syariah tidak boleh mengandung :
a. Unsur riba dalam segala bentuknya.
b. Unsur gharar atau tipu daya.
c. Unsur maisir atau spekulatif.
d. Unsur dzulm atau ketidak adilan.
e. Unsur barang haram
f. Unsur Risywah ( suap )
g. Unsur Ma’shiat
Aqad Syariah atau perjanjian : jika dilanggar namanya cidra janji atau .wanprestasi :
wanprestasi dari debitur dapat berupa :
.1. Tidak melakukan apa yang disanggupi untuk dilakukan.
.2. Melakukan apa yang dijanjikannya, tetapi tidak sebagaimana dijanjikan
.3. Melakukan apa yang dijanjikannya, tetapi terlambat
.4. Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukan.
7
Akibat yang dirasakan tidak enak bagi debitur yaitu :
1) Mengganti kerugian yang diderita oleh kriditur atau membayar ganti rugi ( ( تعویض
2) Pembatalan perjanjian.
3) Peralihan Resiko.
4) Dan membayar biaya perkara kalau sampai diperkarakan di Pengadilan.
Syarat – syarat Perjanjian :
A. Dalam Islam :
a. Tidak menyalahi hukum syari’ah.
b. Harus sama ridho, ada pilihan dan tidak terpaksa.
c. Harus terang, jelas dan gambling.
( Fiqhussunnah jilid III halaman 101 )
B. Dalam Hukum Positif :
1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya .
2. Cakap untuk membuat suatu perjanjian.
( angka 1 dan 2 adalah syarat subyektif )
3. Mengenai suatu hal tertentu .
4. Suatu sebab yang halal
( angka 3 dan 4 adalah syarat obyektif )
( Diatas berdasarkan pasal 1320 Kitab Undan – Undang Hukum Perdata. )
Batalnya Perjanjian :
A. Dalam Islam :
1. Jangka waktu perjanjian telah berakhir.
2. Salah satu pihak menyimpang dari apa yang diperjanjikan.
3. Jika ada bukti kelancangan dan bukti pengkhianatan / penipuan.
( Fiqhussunnah jilid III halaman 102 )
B. Menurut Hukum Positif :
1) Jika ada kekurangan mengenai syarat subyektif maka dapat dimintakan pembatalan.
2) Jika syarat obyektif tidak dipenuhi maka batal demi hukum.
3) Tidak mengandung sesuatu hal yang tertentu.
4) Perjanjian yang isinya tidak halal.
Sebelum UU No. 7/1989 diubah dengan UU No. 3/2006 dan UU No.50/2009 Tentang
Peradilan Agama, pengadilan agama berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan
8
perkara-perkara antara orang-orang yang beragama Islam di bidang perkawinan, kewarisan,
wasiat, hibah, wakaf dan shadaqah. Namun setelah adanya perubahan tersebut. Peradilan
Agama kemudian diberi tambahan kewenangan yaitu zakat; infaq dan ekonomi syari’ah.
Namun kewenangan untuk mengadili perkara ekonomi syariah, direduksi oleh Pasal 55 UU
No. 21/2008 tentang Perbankan Syariah. Disebutkan dalam Pasal 55 ayat (1) Penyelesaian
sengketa Perbankan Syariah dilakukan oleh pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama.
Sementara pada Ayat (2) dikatakan ”Dalam hal para pihak telah memperjanjikan penyelesaian
sengketa selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1), penyelesaian sengketa dilakukan
sesuai dengan isi Akad.”
Bahwa , adanya dualisme pengaturan tersebut telah mereduksi kompetensi peradilan agama
menjadi sekadar alternatif forum pilihan (choice of forum). Pengaturan tersebut juga berakibat
bukan hanya disparitas dan ketidakpastian hukum, namun juga dapat menimbulkan
kekacauan hukum (legal disorder). ”Perundang-undangan yang tidak sinkron satu dengan
yang lainnya, saling bertentangan akan menimbulkan disparitas hukuman antara satu hakim
dengan yang lainnya,” Namun ada pula yang berpendapat kompetensi penyelesaian perkara
ekonomi syariah tidak perlu diperdebatkan lagi, sebab ekonomi menganut prinsip kebebasan
berkontrak (choice of law). Sehingga dalam penegakan hukum, yang bersengketa dapat
memilih di mana mengajukan perkara. Badan arbitrase, Peradilan Umum, atau Peradilan
Agama?
Bahwa dalam penyelesaian perkara dikenal dua forum, litigasi dan non litigasi (choice of
Forum) seperti musyawarah, mediasi dan arbitrase. Para pihak bisa memilih salah satu forum
tersebut, tetapi pemberian satu kewewenangan kepada dua lembaga peradilan [(litigasi)
Choice of Litigation], akan berdampak pada disparitas putusan dan ketidakpastian hukum.
Perkara ekonomi syariah mengandung makna penerapan hukum substantif dan prosedural
yang sama dan berlaku pada setiap orang tanpa memandang perbedaan agama. Dengan
demikian, tidak semestinya ada forum yang berbeda yang bebas dipilih (choice of Forum) oleh
yang mengajukan sengketa, Suatu pilihan yang opportunistic bukan saja akan menimbulkan
disparitas dan ketidakpastian hukum, bahkan lebih jauh akan menimbulkan kekacauan hukum
(legal disoders).
Bahwa , masyarakat pencari keadilan, sangat mengharapkan penegakan hukum, kepastian
hukum dan keadilan, tentunya juga tidak mengabaikan kemanfaatan hukum. Sekarang yang
terjadi karena terlampau banyak peraturan yang kontradiktif, overlapping, dan tidak sinkron.
Ada kesan kompetensi peradilan agama dalam penyelesaian perkara ekonomi syariah ini
9
dibagi-bagi (distribution of Competency) sesuai dengan selera pihak-pihak yang
berkepentingan, hal ini akan membingungkan para pihak pencari keadilan.
Yang jelas bahwa peradilan yang cocok untuk menaungi permasalahan perbankan syariah
adalah peradilan agama bukan peradilan umum. Dengan lahirnya UU tersebut, semestinya
peradilan agama sudah secara praktis berwenang dalam menangani perkara ekonomi syariah.
Pasal 55 Ayat (1) UU No. 21 Tahun 2008 mengatakan penyelesaian sengketa perbankan
syariah dilakukan oleh pengadilan dalam lingkungan peradilan agama. Sementara Ayat (2)
mengecualikan. Apakah ini tidak kontradiktif? Hal ini, tidak hanya kontradiktif melainkan
bertentangan dengan Pasal 49 UU No. 3 Tahun 2006 yang merupakan UU organik peradilan
agama yang mengatur mengenai penyelesaian sengketa ekonomi syariah. Sementara UU No.
21 tahun 2008 hanya mengenai Perbankan Syariah. Olehkarenanya, secara yuridis formal
ketika terjadi konflik hukum (conflict of law) antara kedua UU tersebut, maka yang menjadi
pegangan para hakim adalah undang-undang organik peradilan agama yang secara absolut,
memberikan kewenangan kepada pengadilan agama.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar