Lembaga
keuangan Syariah Non-Bank
Baitul
Maal wat Tamwil
1. Pengertian
Baitul Mal wat Tamwil (BMT)
BMT adalah
lembaga keuangan mikro yang dioperasikan dengan prinsip bagi hasil (syari’ah),
menumbuhkembangkan bisnis usaha mikro dan kecil dalam rangka mengangkat derajat
dan martabat serta membela kepentingan kaum fakir miskin. Secara konseptual,
BMT memiliki dua fungsi : Baitul Tamwil (Bait = Rumah, at Tamwil = Pengembangan
Harta) - melakukan kegiatan pengembangan usaha-usaha produktif dan investasi
dalam meningkatkan kualitas ekonomi pengusaha mikro dan kecil terutama dengan
mendorong kegiatan menabung dan menunjang pembiayaan kegiatan ekonominya.
Baitul Maal (Bait = Rumah, Maal = Harta) – menerima titipan dana zakat, infak
dan shadaqah serta mengoptimalkan distribusinya sesuai dengan peraturan dan
amanahnya.
2. Dasar atau
badan hukum didirikannya BMT
Dasar hukum
didirikannya BMT adalah Al-qur’an surat At-Taubah ayat 60 dan103 dimana ayat
tersebut menerangkan tentang kewajiban zakat terhadap umat Islam, pada masa
Rasulullah SAW pemengutan Zakat belum tertata dengan rapi serta belum ada
lembaga yang menampung hasil zakat tersebut oleh karena itu Rasulullah membuat
kebijakan untuk membangun lembaga khusus untuk menaruh uang dari hasil zakat
tersebut yang diberi nama Baitul Maal.
3.
Sejarah Perkembangan Baitul Mal wat Tamwil (BMT)
3.1. Masa
Rasulullah SAW (1-11 H/622-632 M)
Pada masa
Rasulullah SAW ini, Baitul Mal lebih mempunyai pengertian sebagai pihak
(al-jihat) yang menangani setiap harta benda kaum muslimin, baik berupa
pendapatan maupun pengeluaran. Saat itu Baitul Mal belum mempunyai tempat
khusus untuk menyimpan harta, karena saat itu harta yang diperoleh belum begitu
banyak. Kalaupun ada, harta yang diperoleh hampir selalu habis dibagi bagikan
kepada kaum muslimin serta dibelanjakan untuk pemeliharaan urusan mereka.
Rasulullah SAW senantiasa membagikan ghanimah dan seperlima bagian darinya
(al-akhmas) setelah usainya peperangan, tanpa menunda nundanya lagi. Dengan
kata lain, beliau segera menginfakkannya sesuai peruntukannya masing-masing.
3.2. Masa
Khalifah Abu Bakar Ash Shiddiq (11-13 H/632-634 M)
Abu Bakar dikenal
sebagai Khalifah yang sangat wara’ (hati-hati) dalam masalah harta. Bahkan pada
hari kedua setelah beliau dibai’at sebagai Khalifah, beliau tetap berdagang dan
tidak mau mengambil harta umat dari Baitul Mal untuk keperluan diri dan
keluarganya. Diriwayatkan oleh lbnu Sa’ad (w. 230 H/844 M), penulis biografi
para tokoh muslim, bahwa Abu Bakar yang sebelumnya berprofesi sebagai pedagang
membawa barang-barang dagangannya yang berupa bahan pakaian di pundaknya dan
pergi ke pasar untuk menjualnya. Di tengah jalan, ia bertemu dengan Umar bin
Khaththab. Umar bertanya, “Anda mau kemana, hai Khalifah?” Abu Bakar menjawab,
“Ke pasar.” Umar berkata, “Bagaimana mungkin Anda melakukannya, padahal Anda
telah memegang jabatan sebagai pemimpin kaum muslimin?” Abu Bakar menjawab,
“Lalu dari mana aku akan memberikan nafkah untuk keluargaku?” Umar berkata,
“Pergilah kepada Abu Ubaidah (pengelola Baitul Mal), agar ia menetapkan sesuatu
untukmu.” Keduanya pun pergi menemui Abu Ubaidah, yang segera menetapkan
santunan (ta’widh) yang cukup untuk Khalifah Abu Bakar, sesuai dengan kebutuhan
seseorang secara sederhana, yakni 4000 dirham setahun yang diambil dan Baitul
Mal.
3.3. Masa Khalifah
Umar bin Khaththab (13-23 H/634-644 M)
Selama
memerintah, Umar bin Khaththab tetap memelihara Baitul Mal secara hati-hati,
menerima pemasukan dan sesuatu yang halal sesuai dengan aturan syariat dan
mendistribusikannya kepada yang berhak menerimanya. Dalam salah satu pidatonya,
yang dicatat oleh lbnu Kasir (700-774 H/1300-1373 M), penulis sejarah dan
mufasir, tentang hak seorang Khalifah dalam Baitul Mal, Umar berkata, “Tidak
dihalalkan bagiku dari harta milik Allah ini melainkan dua potong pakaian musim
panas dan sepotong pakaian musim dingin serta uang yang cukup untuk kehidupan
sehari-hari seseorang di antara orang-orang Quraisy biasa, dan aku adalah
seorang biasa seperti kebanyakan kaum muslimin.” (Dahlan, 1999).
3.4. Masa
Khalifah Utsman bin Affan (23-35 H/644-656 M)
Kondisi yang sama
juga berlaku pada masa Utsman bin Affan. Namun, karena pengaruh yang besar dan
keluarganya, tindakan Usman banyak mendapatkan protes dari umat dalam
pengelolaan Baitul Mal. Dalam hal ini, lbnu Sa’ad menukilkan ucapan Ibnu Syihab
Az Zuhri (51-123 H/670-742 M), seorang yang sangat besar jasanya dalam
mengumpulkan hadis, yang menyatakan, “Usman telah mengangkat sanak kerabat dan
keluarganya dalam jabatan-jabatan tertentu pada enam tahun terakhir dari masa pemerintahannya.
Ia memberikan khumus (seperlima ghanimah) kepada Marwan yang kelak menjadi
Khalifah ke-4 Bani Umayyah, memerintah antara 684-685 M dari penghasilan Mesir
serta memberikan harta yang banyak sekali kepada kerabatnya dan ia (Usman)
menafsirkan tindakannya itu sebagai suatu bentuk silaturahmi yang diperintahkan
oleh Allah SWT. Ia juga menggunakan harta dan meminjamnya dari Baitul Mal
sambil berkata, ‘Abu Bakar dan Umar tidak mengambil hak mereka dari Baitul Mal,
sedangkan aku telah mengambilnya dan membagi-bagikannya kepada sementara sanak
kerabatku.’ Itulah sebab rakyat memprotesnya.” (Dahlan, 1999).
3.5. Masa
Khalifah Ali bin Abi Thalib (35-40 H/656-661 M)
Pada masa
pemerintahan Ali bin Abi Talib, kondisi Baitul Mal ditempatkan kembali pada
posisi yang sebelumnya. Ali, yang juga mendapat santunan dari Baitul Mal,
seperti disebutkan oleh lbnu Kasir, mendapatkan jatah pakaian yang hanya bisa
menutupi tubuh sampai separo kakinya, dan sering bajunya itu penuh dengan
tambalan.
3.6. Masa Khalifah-Khalifah
Sesudahnya
Ketika Dunia
Islam berada di bawah kepemimpinan Khilafah Bani Umayyah, kondisi Baitul Mal
berubah. Al Maududi menyebutkan, jika pada masa sebelumnya Baitul Mal dikelola
dengan penuh kehati-hatian sebagai amanat Allah SWT dan amanat rakyat, maka
pada masa pemerintahan Bani Umayyah Baitul Mal berada sepenuhnya di bawah
kekuasaan Khalifah tanpa dapat dipertanyakan atau dikritik oleh rakyat (Dahlan,
1999).
3.7. Sejarah BMT di Indonesia
Sejarah BMT ada di Indonesia,
dimulai tahun 1984 dikembangkan mahasiswa ITB di Masjid Salman yang mencoba
menggulirkan lembaga pembiayaan berdasarkan syari’ah bagi usaha kecil. Kemudian
BMT lebih di berdayakan oleh ICMI sebagai sebuah gerakan yang secara
operasional ditindaklanjuti oleh Pusat Inkubasi Bisnis Usaha Kecil (PINBUK).
BMT adalah lembaga keuangan mikro yang dioperasikan dengan prinsip bagi hasil
(syari’ah), menumbuhkembangkan bisnis usaha mikro dan kecil dalam rangka
mengangkat derajat dan martabat serta membela kepentingan kaum fakir miskin.
Secara konseptual, BMT memiliki dua fungsi : Baitul Tamwil (Bait = Rumah, at
Tamwil = Pengembangan Harta) - melakukan kegiatan pengembangan usaha-usaha
produktif dan investasi dalam meningkatkan kualitas ekonomi pengusaha mikro dan
kecil terutama dengan mendorong kegiatan menabung dan menunjang pembiayaan
kegiatan ekonominya. Baitul Maal (Bait = Rumah, Maal = Harta) – menerima
titipan dana zakat, infak dan shadaqah serta mengoptimalkan distribusinya
sesuai dengan pertaturan dan amanahnya.
4. Visi dan Misi
serta Tujuan di dirikannya BMT
Visi BMT adalah
mewujudkan kualitas masyarakat di sekitar BMT yang selamat, damai dan
sejahtera dengan mengembangkan lembaga dan usaha BMT dan POKUSMA yang
maju berkembang, terpercaya, aman, nyaman, transparan, dan
berkehati-hatian.
Misi BMT
adalah mengembangkan POKUSMA dan BMT yang maju berkembang, terpercaya,
aman, nyaman, transparan, dan berkehati-hatian sehingga terwujud
kualitas masyarakat di sekitar BMT yang selamat, damai dan sejahtera.
BMT bertujuan mewujudkan kehidupan
keluarga dan masyarakat di sekitar BMT yang selamat, damai dan sejahtera.Untuk
mencapai visi dan pelaksanaan misi dan tujuan BMT, maka BMT melakukan
usaha-usaha yaitu mengembangkan kegiatan simpan pinjam dengan prinsip bagi
hasil/syariah dan mengembangkan lembaga dan bisnis Kelompok Usaha Muamalah
yaitu kelompok simpan pinjam yang khas binaan BMT.
Jika BMT
telah berkembang cukup mapan, memprakarsai pengembangan badan usaha
sektor riil ( BUSRIL ) dari Pokusma –pokusma sebagai badan usaha
pendamping menggerakkan ekonomi riil rakyat kecil di
wilayah kerja BMT tersebut yang manajemennya terpisah sama sekali dari
BMT.
Mengembangkan
jaringan kerja dan jaringan bisnis BMT dan sektor riil (BUSRIL) mitranya
sehingga menjadi barisan semut yang tangguh sehingga mampu mendongkrak kekuatan
ekonomi bangsa Indonesia.
5. Produk dan
Mekanisme Operasional BMT
Secara umum
produk BMT dalam rangka melaksanakan fungsinya tersebut dapat diklasifikasikan
menjadi empat hal yaitu(Prof.H.A Djazuli dan Drs. Yadi Janwari, M.Ag.
lembaga-lembaga Perekonomian Umat. Rajawali Press.):
a. Produk penghimpunan dana
(funding)
b. Produk penyaluran dana (lending)
c. Produk jasa
d. Produk tabarru’: ZISWAH (Zakat,
Infaq, Shadaqah, Wakaf, dan Hibah)
Operasional BMT
Sistem bagi hasil
adalah pola pembiayaan keuntungan maupun kerugian antara BMT dengan anggota
penyimpan berdasarkan perhitungan yang disepakati bersama. BMT biasanya berada
di lingkungan masjid, Pondok Pesantren, Majelis Taklim, pasar maupun di
lingkungan pendidikan. Biasanya yang mensponsori pendirian BMT adalah para
aghniya (dermawan), pemuka agama, pengurus masjid, pengurus majelis taklim,
pimpinan pondok pesantren, cendekiawan, tokoh masyarakat, dosen dan pendidik.
Peran serta kelompok masyarakat tersebut adalah berupa sumbangan pemikiran,
penyediaan modal awal, bantuan penggunaan tanah dan gedung ataupun kantor.
Untuk menunjang permodalan, BMT membuka kesempatan untuk mendapatkan sumber
permodalan yang berasal dari zakat, infaq, dan shodaqoh dari orang-orang
tersebut. Hasil studi Pinbuk (1998) menunjukkan bahwa lembaga pendanaan yang
saat ini berkembang memiliki kekuatan antara lain:
o Mandiri dan
mengakar di masyarakat,
o Bentuk
organisasinya sederhana,
o Sistem dan
prosedur pembiayaan mudah,
o Memiliki
jangkauan pelayanan kepada pengusaha mikro. Kelemahannya adalah :
o Skala usaha
kecil,
o Permodalan
terbatas,
o Sumber daya
manusia lemah,
o Sistem dan
prosedur belum baku.Untuk mengembangkan lembaga tersebut dari kelemahannya
perlu ditempuh cara-cara pembinaan sebagai berikut:
o Pemberian
bantuan manajemen, peningkatan kualitas SDM dalam bentuk pelatihan,
standarisasi sistem dan prosedur,
o Kerjasama dalam
penyaluran dana,
o Bantuan dalam
inkubasi bisnis.
Pola
Tabungan dan Pembiayaan
Tabunganv
Tabungan atau
simpanan dapat diartikan sebagai titipan murni dari orang atau badan usaha
kepada pihak BMT. Jenis-jenis tabungan/simpanan adalah sebagai berikut:
Tabungan
persiapan qurban;
Tabungan
pendidikan;
Tabungan
persiapan untuk nikah;
Tabungan
persiapan untuk melahirkan;
Tabungan naik
haji/umroh;
Simpanan
berjangka/deposito;
Simpanan khusus
untuk kelahiran;
Simpanan sukarela
Simpanan hari
tua;
Simpanan aqiqoh.
Pola Pembiayaanv
Pola pembiayaan
terdiri dari bagi hasil dan jual beli dengan mark up (tambahan atas modal)
serta pembiayaan non profit.
Bagi Hasil
Bagi hasil
dilakukan antara BMT dengan pengelola dana dan antara BMT dengan penyedia dana
(penyimpan/penabung). Bagi hasil ini dibedakan atas:
Musyarakah,
adalah suatu perkongsian antara dua pihak atau lebih dalam suatu proyek dimana
masing-masing pihak berhak atas segala keuntungan dan bertanggung jawab atas
segala kerugian yang terjadi sesuai dengan penyertaannya masing-masing.
Mudharabah,
adalah perkongsian antara dua pihak dimana pihak pertama (shahib al amal)
menyediakan dana dan pihak kedua (mudharib) bertanggung jawab atas pengelolaan
usaha. Keuntungan dibagikan sesuai dengan rasio laba yang telah disepakati
bersama terlebih dahulu di depan. Manakala rugi, shahib al amal akan kehilangan
sebagian imbalan dari kerja keras dan manajerial skill selama proyek berlangsung.
Murabahah, adalah
pola jual beli dengan membayar tangguh, sekali bayar.
Muzaraah, adalah
dengan memberikan l kepada si penggarap untuk ditanami dan dipelihara dengan
imbalan bagian tertentu (prosentase) dari hasil panen.
Musaaqot, adalah
bentuk yang lebih sederhana dari muzaraah dimana si penggarapnya bertanggung
jawab atas penyiraman dan pemeliharaan. Sebagai imbalan si penggarap berhak
atas rasio tertentu dari hasil panen.
Jual Beli dengan
Mark Up (tambahan atas modal)©
Jual beli
dengan mark up merupakan tata cara jual beli yang dalam pelaksanaannya, BMT
mengangkat nasabah sebagai agen (yang diberi kuasa) melakukan pembelian barang
atas nama BMT, kemudian BMT bertindak sebagai penjual kepada nasabah dengan
harga sejumlah harga beli tambah keuntungan bagi BMT atau sering disebut
margin/mark up. Keuntungan yang diperoleh BMT akan dibagi kepada penyedia dan
penyimpan dana. Jenis-jenisnya adalah:
- Bai Bitsaman Ajil (BBA), adalah proses jual beli dimana
pembayaran dilakukan secara lebih dahulu dan penyerahan barang dilakukan
kemudian.
Bai As Salam,
proses jual beli dimana pembayaran dilakukan terlebih dahulu dan penyerahan
barang dilakukan kemudian.-
- Al Istishna, adalah kontrak order yang ditandatangani
bersamaan antara pemesan dengan produsen untuk pembuatan jenis barang tertentu.
- Ijarah atau Sewa, adalah dengan memberi penyewa untuk
mengambil pemanfaatan dari sarana barang sewaan untuk jangka waktu tertentu
dengan imbalan yang besarnya telah disepakati bersama.
- Bai Ut Takjiri, adakah suatu kontrak sewa yang diakhiri
dengan penjualan. Dalam kontrak ini pembayaran sewa telah diperhitungkan
sedemikian rupa sehingga padanya merupakan pembelian terhadap barang secara
berangsur.
- Musyarakah Mutanaqisah, adalah kombinasi antara musyawarah
dengan ijarah (perkongsian dengan sewa). Dalam kontrak ini kedua belah pihak
yang berkongsi menyertakan modalnya masing-masing.
Pembiayaan
Non Profit
Sistem ini
disebut juga pembiayaan kebajikan. Sistem ini lebih bersifat sosial dan tidak
profit oriented. Dalam BMT pembiayaan ini sering dikenal dengan Qard yang
bertujuan untuk kegiatan produktif yang secara aplikatif peminjam dana hanya
perlu mengembalikan modal yang dipinjam dari BMT apabila sudah jatuh tempo,
yang tentu dengan beberapa criteria UMK yang harus dipenuhi.
6. Peraturan Hukum
Terkait dengan BMT
BMT dapat
didirikan dalam bentuk KSM (kelompok Swadaya Masyarakat) atau Koperasi (Karnaen
A. Perwaatmadja. Membumikan ekonomi Islam di Indonesia, (Depok: Usaha
Kami,1996), hlm.216). Sebelum menjalankan usahanya, KSM mesti mendapatkan
sertifikat operasi dari PINBUK (Pusat Inkubasi bisnis Usaha Kecil). Sementara
PINBUK itu sendiri mesti mendapat pengakuan dari Bank Indonesia (BI) sebagai Lembaga
Pengembang Swadaya Masyarakat (LPSM) yang mendukung Program Proyek Hubungan
Bank dengan Kelompok Swadaya Masyarakat yang dikelola oleh Bank Indonesia
(PHBK-BI). Selain dengan badan hukum kelompok Swadaya Masyarakat, BMT juga bisa
didirikan dengan menggunakan badan hukum koperasi, baik Koperasi Serba Usaha
diperkotaan, Koperasi Unit Desa di pedesaan, maupun Koperasi Pondok Pesantren
(Kopontren) di lingkunan pesantren.
Berkenaan dengan
Koperasi Unit Desa dapat mendirikan BMT telah diatur dalam Petunjuk Menteri
Koperasi dan PPK tanggal 20 Maret 1995 yang menetapkan bahwa bila disuatu
wilayah dimana telah ada KUD dan KUD tersebut telah berjalan baik dan
organisasinya telah diatur dengan baik, maka BMT bisa menjadi Unit Usaha Otonom
(U2O) atau Tempat Pelayanaan Koperasi (TPK) dari KUD tersebut. Sedangkan bila
KUD yang telah berdiri itu belum berjalan dengan baik, maka KUD tersebut dapat
di operasikan sebagai BMT.
DI
wilayah-wilayah berbasis pesantren, masyarakat dapat mendirikan BMT dengan
menggunakan badan hukum Koperasi Pondok Pesantren. Dalam hal penggunaan
Kopontren sebagai badan hukum BMT, keberadaan BMT di Kopontren tersebut adalah
senbagai Unit Usaha Otonom atau tempat Pelayanaan Koperasi sebagaimana dalam
KUD. Apabila di pesantren itu belum terbentuk Kopontren, maka civitas
peasantren dapat mendirikan Kopontren dan BMT secara bersama-sama. Untuk itu,
panitia penyiapan pendirian BMT dapaat bekerja sama dengan Puskopontren, Kantor
Departeman Agama, Kantaor Departemen Koperasi dan PPK di kabipaten setempat.
Penggunaan badan
hukum KSM dan Koperasi untuk BMT itu disebabkan karena BMT tidak termasuk
kepada lembaga keuangan formal yang dijelaskan UU nomor 7 tahun 1992 dan UU
nomor 10 Tahun 1998 tyentang Perbankan, yang dapat diopersikan untuk menghimpun
dan menyalurkan dana masyarakat. Menurut UU pihak yang berhak menghimpun dan
menyalurkan dana masyarakat adalah Bank Umum dan Bank Perkreditan Rakyat, baik
dioperasikan dengan cara konvensional maupun syariah atau bagi hasil. Namun
demikian, kalau BMT dengan badan hukum KSM atau Koperasi itu telah berkembang
dan telah memenuhi syarat-syarat BPR, maka pihak menajemen dapat mengusulkan
diri kepada Pemerintah agar BMT itu dijadikan sebagia BPRS (Bank Perkreditan
Rakyat Syariah) dengan badan huukum koperasi atau perseroan terbatas.
Selain itu BMT dalam menjalankan dan
menggunakan produk-produknya mengacu kepada Fatwa Dewan Syariah
Nasional-Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI) yang dijelaskan dalam uraian
berikut:
Implementasi akad bagi hasil dalam
produk BMT di bidang penghimpunan dana sebagaimana disebut di atas dalam bentuk
simpanan, sedangkan implementasinya dalam produk penyaluran dana adalah pada
produk Pembiayaan Mudharabah dan Pembiayaan Musyarakah. Secara teknis mengenai
penerapan akad mudharabah dalam bentuk pembiayaan dapat dibaca dalam Fatwa DSN
MUI No. 07/DSN-MUI/IV/2000 tentang Pembiayaan Mudharabah (Qiradh) dan untuk
penerapan akad musyarakah dalam produk pembiayaan dapat dibaca dalam Fatwa DSN
MUI No. 08/DSN-MUI/IV/2000 tentang Pembiayaan Musyarakah.
Sedangkan implementasi akad
murabahah, salam, dan istishna, khususnya dalam praktik BMT secara teknis dapat
dibaca dalam Fatwa DSN MUI No. 04/DSN-MUI/IV/2000 tentang Murabahah, Fatwa DSN
MUI No. 05/DSN-MUI/IV/2000 tentang Jual Beli Salam, dan Fatwa DSN MUI No.
06/DSN-MUI/IV/2000 tentang Jual Beli Istishna. Sewa-menyewa merupakan
perjanjian yang obyeknya adalah manfaat atas suatu barang atau pelayanan,
sehingga bagi pihak yang menerima manfaat berkewajiban untuk membayar uang
sewa/upah (ujrah). Selain itu BMT juga menerapkan sistem sewa menyewa. Dalam
praktik BMT akad sewa-menyewa ini diterapkan dalam produk penyaluran dana
berupa pembiayaan ijarah dan pembiayaan ijarah muntahia bit tamlik (IMBT), yang
penjelasannya adalah sebagai berikut:
1) Ijarah adalah transaksi
sewa-menyewa atas suatu barang dan atau upah mengupah atas suatu jasa dalam
waktu tertentu melalui pembayaran sewa atau imbalan jasa. Secara teknis
mengenai penerapan akad ijarah di BMT dapat mengacu pada Fatwa DSN MUI No.
09/DSN-MUI/IV/2000 tentang Pembiayaan Ijarah.
2) Ijarah Muntahia Bit Tamlik
(IMBT), adalah transaksi sewa-menyewa yang memberikan hak opsi di akhir masa
sewa bagi pihak penyewa untuk memiliki barang yang menjadi obyek sewa melaluai
mekanisme hibah ataupun melalui mekanisme beli. Secara teknis mengenai
implementasi IMBT ini dapat dibaca dalam ketentuan Fatwa DSN MUI No.
27/DSN-MUI/III/2002 tentang Al-Ijarah Al-Mutahiyah bi Al-Tamlik.
Dalam operasional BMT transaksi
pinjam-meminjam yang bersifat sosial diman kegiatan pinjam-meminjam ini dikenal
dengan nama pembiayaan qardh, yaitu pinjam meminjam dana tanpa imbalan dengan
kewajiban pihak peminjam mengembalikan pokok pinjaman secara sekaligus atau
cicilan dalam jangka waktu tertentu. Ada juga qardh al-hasan (pinjaman kebajikan),
yang pada dasarnya dalam hal nasabah tidak mampu mengembalikan, maka seyogyanya
pihak pemberi pinjaman bisa mengikhlaskannya. Secara teknis mengenai pembiayaan
qardh ini mengacu pada Fatwa DSN MUI No. 19/DSN-MUI/IX/2000 tentang al Qardh.
7. Perkembangan
dan pertumbuhan BMT di Indonesia
Perkembangan BMT di Indonesia dewasa
ini ukup mencengangkan, tumbuh ratusan BMT, bahkan mungki ribuan. Menurut
catatan BMT Center Indonesia (semacam induknya BMT se-Indonesia) anggotanya ada
sekitar 138 unit dengan 348 kantor cabang (niriah.com). Itu baru yang menginduk
atau menjadi anggota BMT Center, padahal yang tidak menjadi anggota, sangat
jauh lebih banyak. Artinya, masyarakat sangat membutuhkan sebuah lembaga
keuangan seperti ini, lembaga keuangan yang sederhana dalam pengaksesan
pembiayaan (kredit) dengan tidak meninggalkan aspek prudential, dengan bagi
hasil (margin) yang jauh lebih rendah dari rentenir. Masyarakat usaha kecil
selama ini merasa kesulitan untuk mengakses kredit ke perbankan, karena
usahanya belum tertata.
8. Dampak
Perkembangan dan Pertumbuhan BMT bagi perekonomian Indonesia
Pembiayaan kepada pengusaha mikro
selama ini selalu terkendala permasalahan outstanding pembiayaan yang kecil
yang karena itu biaya operasional pembiayaan menjadi tinggi membuat pihak
perbankan enggan memberikan pembiayaan. Kendala lainnya persyaratan perbankan,
bankable atau yang secara teknis mengharuskan adanya jaminan liquid dll yang
tidak dimiliki oleh sector UMK. Adanya keinginan yang kuat untuk mengatasi
kendala-kendala diatas itulah yang menginspirasi kehadiran BMT.
Bila dibandingkan dengan kekuatan
lembaga keuangan mikro lain dalam hal besaran pembiayaan atau kredit, kekuatan
BMT memang belum seberapa, dari total pembiayaan yang disalurkan kepda UMK.
Namun jika ditinjau dari segi jumlah
penerima manfaat, maka kita dapat melihat jumlah yang dilayani oleh BMT jauh
lebih banyak, dan yang lebih menarik lagi jumlah pembiayaan tiap unit usahapun
lebih kecil, sehingga dapatlah disimpulkan bahwa pembiayaan pada BMT lebih mampu
untuk menyentuh pengusaha mikro sebagai unit usaha terkecil, akan tetapi
memiliki jumlah unit usaha paling besar di Indonesia.
9. Prospek
Strategi dan Kendala Baitul Maal wat Tamwil (BMT)
Koperasi syariah
atau akrab dikenal dengan sebutan Baitulmal wattamwil (BMT) mengalami
perkembangan cukup signifikan dalam beberapa tahun terakhir. Bahkan, sebuah
lembaga inkubasi bisnis BMT mengestimasi saat ini terdapat sebanyak 3.200 BMT
dengan nilai aset mencapai Rp 3,2 triliun. Bisnis tersebut hingga akhir tahun
ini diproyeksi mencapai Rp 3,8 triliun. Meski demikian, Chief Secretary
Organization (CSO) BMT Center, Noor Azis, yakin bahwa BMT di Indonesia masih
bisa terus dikembangkan. Syaratnya, adanya dukungan dan komitmen pemerintah
dalam mendorong perkembangan bisnis lembaga keuangan non bunga tersebut. Salah
satu bentuk dukungan itu adalah melahirkan berbagai regulasi yang melindungi
binsis keuangan mikro.
Searah dengan
perubahan zaman, perubahan tata ekonomi dan perdagangan, konsep baitul mal yang
sederhana itu pun berubah, tidak sebatas menerima dan menyalurkan harta tetapi
juga mengelolanya secara lebih produktif untuk memberdayakan perekonomian
masyarakat. Penerimaannya juga tidak terbatas pada zakat, infak dan shodaqoh,
juga tidak mungkin lagi dari berbagai bentuk harta yang diperoleh dari
peperangan. Lagi pula peran pemberdayaan perekonomian tidak hanya dikerjakan
oleh negara.
Selain itu,
dengan kehadiran BMT di harapkan mampu menjadi sarana dalam menyalurkan dana
untuk usaha bisnis kecil dengan mudah dan bersih, karena didasarkan pada
kemudahan dan bebas riba/bunga, memperbaiki/meningkatkan taraf hidup masyarakat
bawah, Lembaga keuangan alternatif yang mudah diakses oleh masyarakat bawah dan
bebas riba/bunga,Lembaga untuk memberdayakan ekonomi ummat,mengentaskan
kemiskinan,meningkatkan produktivitas.
Jika kita membicarakan bagaimana
kita membuat strategi untuk menumbuh kembangkan BMT di Indonesia dengan melihat
prospek BMT yang telah kita bahas pada pembahasan diatas, ternyata ada beberapa
strategi untuk meningkatkan kinerja untuk meningkatkan prospek dari BMT
tersebut antara lain:
o Optimalisasi
lembaga pemerintahan yang mengadakan pendanaan BMT secara melalui lembaga
swasta seperti lembaga PT. Permodalan Nasional Madani terhadap BMT, akan tetapi
itu dirasa kurang cukup kontributif untuk pengembangan BMT, karena belum ada
penanganan khusus dari lembaga pemerintahan.
o Optimalisasi
linkage program untuk penambahan permodalan BMT, baik itu antara BMT dan BPRS
serta Bank Syariah, sehingga kemungkinan likuidasi BMT terjadi akan semakin
mengecil.
o Sedangkan proses
pengembangan BMT dapat dilakukan dengan proses berikut:
o Mengidentifikasi
ulang kuantitas dan kualitas BMT dan UMK di Indonesia.
o Koordinasi
dengan Pusat Inkubasi Bisnis Usaha Kecil (PINBUK) dalam pengadaan pelatihan
bagi para pengelola BMT agar manajemennya bisa berkembangan.
o Sosialisasi akan
eksistensi BMT kepada masyarakat melalui media massa, sehingga masyarakat akan
lebih cepat mengetahui adanya BMT dan keunggulannya
10.
Kendala-kendala yang dihadapi oleh BMT
Dalam perkembangan BMT tentunya
tidak lepas dari berbagai kendala. Adapun kendala-kendala tersebut diantaranya:
1. Akumulasi kebutuhan dana
masyarakat belum bisa dipenuhi BMT.
2. Adanya rentenir yang memberikan
dana yang memadai dan pelayanan yang baik dibanding BMT.
3. Nasabah bermasalah.
4. Persaingan tidak Islami antar
BMT.
5. pengarahan pengelola pada
orientasi bisnis terlalu dominant sehingga mengikis sedikit rasa idealis.
6. Ketimpangan fungsi utama BMT,
antara baitul mal dengan baitutamwil.
7. SDM kurang.
8.Evaluasi Bersama BMT.
Daftar Pustaka
Karnaen A. Perwaatmadja. Membumikan
ekonomi Islam di Indonesia, (Depok: Usaha Kami,1996), hlm.216
Prof. Dr. Ir. M. Amin Azis. Tata Cara
Pendirian BMT. Jakarta: PKES Publishing, 2008
Tidak ada komentar:
Posting Komentar